
Perpaduan strategis antara pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan pemanfaatan energi hijau menjadi pilar utama dalam memperkuat industri aluminium nasional Indonesia, seiring dengan proyeksi peningkatan kebutuhan global. Permintaan aluminium diperkirakan melonjak hingga 600% dalam tiga dekade mendatang, terutama didorong oleh sektor kendaraan listrik dan infrastruktur energi terbarukan seperti panel surya. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada momentum krusial untuk membangun industri aluminium yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), sebagai pionir dalam industri aluminium nasional, telah mengimplementasikan strategi "green smelter" jauh sebelum menjadi tren global. Sejak 1976, Inalum mengandalkan dua Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kawasan Sungai Asahan, yang bersumber dari aliran Danau Toba, untuk sekitar 95% produksinya, menjadikannya salah satu produsen aluminium hijau di Indonesia. Upaya ini tidak hanya memberikan keunggulan kompetitif tetapi juga mendukung program konservasi, termasuk penanaman lebih dari 871 ribu pohon di area seluas lebih dari 2.200 hektare pada tahun 2024, dengan target penanaman 500 hektare lahan kritis pada tahun 2025. Selain Inalum, pengembangan kawasan industri hijau seperti Kawasan Industri Hijau Kalimantan Utara (KIPI) oleh PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) juga menjadi agenda pemerintah. Smelter aluminium PT Kalimantan Aluminium Industry (KAI), anak usaha PT Adaro Minerals Indonesia Tbk di kawasan ini, diproyeksikan mulai beroperasi pada semester I-2025 dengan kapasitas produksi tahap pertama 500.000 ton per tahun, didukung penuh oleh energi hijau dari PLTA Sungai Mentarang dan Sungai Kayan.
Aspek sumber daya manusia menjadi krusial dalam transisi industri ini. Inalum, dengan lebih dari 4.000 tenaga kerja yang sekitar 80% berasal dari Sumatera Utara, terus menumbuhkan budaya inovasi. Ratusan karyawan Inalum setiap tahun mengikuti Technology Innovative Seminar (TIS) untuk menghasilkan ide-ide teknis yang berdampak langsung. Komitmen ini sejalan dengan visi perusahaan untuk menjadi perusahaan aluminium terpadu global yang ramah lingkungan, dengan peningkatan kompetensi SDM secara berkelanjutan. Proyek smelter KAI di Kalimantan Utara juga diharapkan dapat menyerap lebih dari 6.000 tenaga kerja lokal pada fase konstruksi dan sekitar 1.500 tenaga kerja lokal pada fase operasi.
Meskipun kebutuhan aluminium nasional masih bergantung pada impor hingga 54%, dengan kontribusi Inalum sebesar 46%, percepatan hilirisasi bauksit menjadi alumina dan aluminium menjadi sangat strategis. Inalum menargetkan peningkatan kapasitas produksi aluminium menjadi 900.000 ton per tahun dan produksi alumina mencapai 2 juta ton pada tahun 2029. Proyek Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Fase 1 di Mempawah, Kalimantan Barat, telah selesai pada kuartal keempat 2024 dan mencapai produksi penuh pada kuartal pertama 2025, dengan investasi sekitar 900 juta dolar AS atau Rp13,96 triliun. Kebutuhan aluminium yang sangat besar untuk baterai kendaraan listrik (sekitar 18% per paket baterai) dan pembangkit surya (21 ton per 1 MW) menjelaskan urgensi percepatan hilirisasi ini.
Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian aktif mendorong penguatan industri aluminium melalui beberapa kebijakan, termasuk penerapan Domestic Market Obligation (DMO) untuk alumina, pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), serta subsidi Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk menekan biaya energi yang merupakan komponen terbesar produksi aluminium. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi, daya saing produk nasional, dan mengurangi ketergantungan impor. Dengan roadmap hilirisasi dan ekspansi produksi, Inalum optimistis dapat menjadi motor utama percepatan industrialisasi aluminium Indonesia dan mendukung agenda besar pemerintah dalam transisi energi, penguatan rantai pasok nasional, serta peningkatan nilai tambah dalam negeri, sejalan dengan komitmen mencapai net zero emission pada 2060.