Notification

×

Iklan

Iklan

Tagar Terpopuler

Membongkar Ajakan Galbay Pinjol: Bahaya Tersembunyi di Baliknya

2025-11-16 | 09:45 WIB | 0 Dibaca Last Updated 2025-11-16T02:45:48Z
Ruang Iklan

Membongkar Ajakan Galbay Pinjol: Bahaya Tersembunyi di Baliknya

Menyikapi fenomena ajakan gagal bayar (galbay) pinjaman daring atau pinjaman online (pinjol) ilegal telah menjadi perhatian serius di tengah masyarakat dan regulator. Ajakan ini marak ditemukan di berbagai platform media sosial seperti YouTube, Instagram, Facebook, dan TikTok, seringkali dikemas seolah sebagai solusi, padahal berpotensi menjerumuskan individu pada masalah hukum dan finansial yang lebih berat.

Fenomena galbay sendiri merujuk pada kondisi di mana peminjam tidak mampu atau tidak mau membayar kembali pinjaman beserta bunga dan biaya lainnya sesuai dengan ketentuan yang disepakati di awal. Ada beberapa penyebab utama terjadinya galbay, antara lain keterbatasan keuangan akibat kehilangan pekerjaan atau penurunan pendapatan, manajemen keuangan yang buruk, tingginya bunga pinjaman, serta kurangnya pemahaman tentang persyaratan pinjaman. Selain itu, maraknya pinjol ilegal dengan praktik bisnis predatoris, bunga mencekik, dan cara penagihan yang mengintimidasi juga memicu munculnya gerakan galbay sebagai cerminan kekecewaan nasabah.

Dampak dan Risiko Serius

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan para pakar telah berulang kali mengingatkan akan dampak serius dari galbay pinjol. Salah satu risiko utama adalah bunga dan denda yang membengkak, terutama dari pinjol ilegal yang menerapkan bunga harian sangat tinggi. Hal ini dapat menjebak peminjam dalam lingkaran utang yang tidak berkesudahan.

Konsekuensi lain yang tidak kalah penting adalah masuknya data peminjam ke dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK. Catatan buruk di SLIK ini akan merusak riwayat kredit peminjam, menyulitkan mereka untuk mengajukan pinjaman di masa depan, baik untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR), kredit kendaraan, hingga kartu kredit di bank resmi. Bahkan, catatan buruk di SLIK dapat menjadi kendala dalam mencari pekerjaan.

Meskipun utang piutang termasuk ranah hukum perdata, yang berarti seseorang tidak bisa dipenjara hanya karena utang pinjol, ada risiko masalah hukum jika peminjam terbukti menggunakan data palsu atau melakukan penipuan. Penagihan agresif dari debt collector, terutama dari pinjol ilegal, juga menjadi momok yang mengganggu, bahkan berpotensi melibatkan penyebaran data pribadi dan intimidasi.

Tingkat Gagal Bayar dan Respons Regulator

Fenomena galbay pinjol ini telah mendorong peningkatan rasio kredit macet (tingkat wanprestasi 90 hari/TWP90) di industri fintech peer-to-peer (P2P) lending. Per September 2025, outstanding pinjaman P2P lending yang belum dibayar sudah menembus Rp90,99 triliun, naik 22,16% secara tahunan. Tingkat wanprestasi (TWP90) mencapai 2,82% pada September 2025, lebih tinggi dibandingkan Agustus 2025 di level 2,60%. Beberapa provinsi menunjukkan rasio gagal bayar yang lebih tinggi, dengan Nusa Tenggara Barat (NTB) menempati posisi tertinggi pada Agustus 2025 dengan 4,12%, diikuti oleh Kalimantan Utara (3,66%), Jawa Barat (3,05%), Jawa Timur (3,04%), dan Jakarta (3,02%). OJK menetapkan batas wajar kredit macet maksimal 5%.

Menyikapi hal ini, OJK terus memperketat pengawasan dan regulasi. Sejak 2017 hingga 12 November 2025, Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti) telah menghentikan 14.005 entitas keuangan ilegal, termasuk 11.873 entitas pinjaman online ilegal. OJK juga mewajibkan semua pinjol legal melaporkan data peminjam ke SLIK mulai 31 Juli 2025 untuk meningkatkan penilaian kelayakan kredit dan mencegah overlimit pinjaman.

Regulasi terbaru OJK pada 2025 juga mencakup penurunan batas maksimal bunga pinjaman konsumtif menjadi 0,2% per hari, dengan target 0,1% pada 2026. Aturan penagihan juga diperketat, melarang penggunaan ancaman, intimidasi, atau tindakan SARA, serta membatasi waktu penagihan hingga pukul 20.00 waktu setempat. Penyelenggara pinjol juga diwajibkan bertanggung jawab penuh atas proses penagihan, termasuk jika menggunakan jasa pihak ketiga.

Pentingnya Literasi Keuangan

Kesenjangan antara tingkat literasi keuangan dan inklusi keuangan di Indonesia disoroti sebagai salah satu pemicu maraknya fenomena galbay. Data survei OJK dan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025 menunjukkan indeks literasi keuangan baru mencapai 66,46%, sementara inklusi keuangan sudah di angka 80,51%. Hal ini membuka ruang bagi informasi yang salah, termasuk ajakan galbay, yang cepat menyebar di media sosial.

Peningkatan literasi keuangan menjadi kunci untuk melindungi masyarakat dari jebakan pinjol ilegal. OJK dan asosiasi terkait terus menggencarkan edukasi mengenai ciri-ciri, modus, dan bahaya pinjol ilegal, serta pentingnya mengelola utang dan membayar tepat waktu. Masyarakat diimbau untuk selalu meminjam sesuai kebutuhan dan kemampuan, memastikan cicilan tidak melebihi 30% penghasilan, dan hanya menggunakan pinjol resmi yang terdaftar di OJK. Apabila menghadapi kesulitan pembayaran, disarankan untuk segera menghubungi pihak pinjol legal untuk mengajukan restrukturisasi pinjaman atau mencari bantuan dari lembaga bantuan hukum.