Notification

×

Iklan

Iklan

Tagar Terpopuler

Kemenperin Bongkar Penyebab Ekspor Manufaktur RI Kalah Saing dari Malaysia-Vietnam

2025-11-19 | 18:06 WIB | 0 Dibaca Last Updated 2025-11-19T11:06:42Z
Ruang Iklan

Kemenperin Bongkar Penyebab Ekspor Manufaktur RI Kalah Saing dari Malaysia-Vietnam

Ekspor manufaktur Indonesia terus menghadapi tantangan signifikan, tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam, menurut pengakuan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan data terkini. Meskipun industri pengolahan nonmigas Indonesia konsisten menjadi kontributor terbesar ekspor nasional, kinerja sektor ini masih di bawah potensi, terutama dalam hal diversifikasi produk bernilai tambah tinggi.

Data terbaru menunjukkan Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur Indonesia pada Mei 2025 berada di angka 47,4 dan terus menurun menjadi 46,9 pada Juni 2025, menandakan kontraksi dalam aktivitas manufaktur. Kondisi ini lebih lemah dibandingkan Malaysia yang memiliki PMI 48,6 pada Juni 2025. Vietnam juga mengalami kontraksi dengan PMI 49,8 pada Mei 2025 dan 45,6 pada Juni 2025, namun struktur ekspor manufaktur mereka lebih mengungguli Indonesia dalam jangka panjang. Menteri Perdagangan Budi Santoso mengemukakan bahwa meskipun 70 persen ekspor Indonesia kini berasal dari industri pengolahan, struktur produk yang diekspor belum setara dengan Singapura atau Vietnam yang berfokus pada manufaktur bernilai tinggi. Sebagai contoh, Vietnam secara signifikan meningkatkan jumlah produk manufaktur dalam sepuluh komoditas ekspor utamanya dari waktu ke waktu.

Kemenperin mengidentifikasi beberapa faktor utama di balik pelemahan ekspor manufaktur. Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief menjelaskan bahwa perusahaan industri masih menantikan paket kebijakan deregulasi yang pro-bisnis. Selain itu, pelemahan permintaan pasar ekspor dan domestik, serta penurunan daya beli masyarakat, juga turut berkontribusi. Pasar domestik juga terbebani oleh serbuan produk jadi impor murah.

Secara fundamental, inefisiensi perekonomian nasional tercermin dari tingginya rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang diperkirakan mencapai 6,245 pada tahun 2025. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Vietnam (4,6), Malaysia (4,5), dan Thailand (4,4), menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan modal investasi yang lebih besar untuk menghasilkan output yang sama dibandingkan negara-negara tersebut. Para ekonom juga menyoroti masalah tata kelola, birokrasi yang rumit, dan iklim investasi sebagai hambatan yang meningkatkan biaya ekonomi dan mengurangi daya tarik investasi.

Untuk mengatasi tantangan ini, Kemenperin telah menyiapkan sejumlah strategi. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menargetkan pertumbuhan industri manufaktur sebesar 7,29 persen pada tahun 2025 dan 8,59 persen pada tahun 2028. Fokus utama adalah peningkatan ekspor produk bernilai tambah tinggi dan berteknologi kompleks, termasuk hasil hilirisasi nikel, kendaraan listrik berbasis baterai (KBLBB), serta produk berbasis agro seperti kakao dan kelapa.

Pemerintah juga telah membentuk Satuan Tugas Peningkatan Ekspor melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2023 untuk mengembangkan sumber daya dan industri ekspor. Melalui Strategi Baru Industrialisasi Nasional (SBIN) yang diluncurkan Kemenperin, pemerintah berencana memprioritaskan investasi di sektor mineral strategis, kimia dasar, farmasi, komponen elektronik, dan pangan. SBIN juga menekankan peningkatan daya saing melalui penguasaan teknologi dan inovasi, termasuk program restrukturisasi mesin dan insentif riset.

Selain itu, Kemenperin berkomitmen untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui regulasi pro-bisnis dan melindungi pasar domestik dari gempuran produk impor murah, salah satunya dengan merevisi Permendag Nomor 8 Tahun 2024. Upaya memperluas akses pasar ke negara-negara non-tradisional dan meningkatkan partisipasi Indonesia dalam rantai pasok global juga menjadi prioritas. Pemerintah juga bertekad untuk mengembangkan "national champion" di sektor manufaktur sebagai pendorong utama ekonomi nasional. Diharapkan, kombinasi insentif dan kebijakan pro-industri ini dapat mendorong pemulihan daya beli dan utilisasi industri dalam beberapa bulan ke depan.