
Rumor mengenai potensi merger antara raksasa teknologi Asia Tenggara, Grab dan GoTo, kembali menguat dan menjadi sorotan utama di kalangan finansial. Pembicaraan mengenai penggabungan kedua entitas ini dilaporkan semakin intensif sepanjang tahun 2025, meskipun GoTo telah mengklarifikasi bahwa belum ada keputusan atau kesepakatan final yang dicapai hingga saat ini. Regulator persaingan usaha di Singapura, Competition and Consumer Commission of Singapore (CCS), juga menyatakan belum menerima pemberitahuan resmi mengenai merger ini, namun siap untuk terlibat dalam diskusi.
Jika merger ini terwujud, laporan menunjukkan bahwa entitas gabungan tersebut berpotensi membentuk perusahaan senilai US$29 miliar. Lebih jauh, entitas ini diperkirakan akan menguasai sekitar 85% hingga 91% pangsa pasar layanan ride-hailing dan pesan-antar makanan di Indonesia, negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.
Pemerintah Indonesia turut mengawasi perkembangan ini dengan cermat. Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, telah mengonfirmasi adanya diskusi merger dan menyebutkan kemungkinan keterlibatan lembaga pengelola investasi negara, Danantara. Danantara bahkan bisa mendapatkan "golden share" atau saham istimewa dalam entitas gabungan tersebut, yang akan memberikan hak khusus atas operasional di Indonesia, termasuk masukan mengenai gaji mitra pengemudi, sebagai upaya untuk memperoleh persetujuan regulasi. Pembahasan merger ini juga disebut-sebut sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menyusun peraturan presiden yang mengatur layanan ojek daring, dengan tujuan memperketat kontrol sektor ini dan memberikan jaminan sosial bagi pengemudi.
Namun, dominasi pasar yang begitu besar memicu kekhawatiran serius akan praktik monopoli dan dampaknya terhadap konsumen. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia dipastikan akan meninjau ketat rencana merger ini, mengingat pangsa pasar gabungan yang melebihi 50% dapat melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Bagi konsumen, dampak dari merger Grab-GoTo berpotensi menjadi dua sisi. Di satu sisi, penggabungan ini mungkin menawarkan integrasi layanan yang lebih baik dalam satu aplikasi super dan efisiensi operasional. Di sisi lain, kekhawatiran terbesar adalah berkurangnya persaingan yang dapat menyebabkan kenaikan harga layanan, baik untuk ride-hailing maupun pesan-antar makanan, serta terbatasnya pilihan dan potensi penurunan kualitas layanan. Analis mengkhawatirkan hilangnya promosi dan inovasi yang kerap muncul dari persaingan ketat.
Mitra pengemudi juga bisa merasakan dampak signifikan. Pasar yang terkonsolidasi dikhawatirkan dapat menurunkan pendapatan rata-rata mereka dan meningkatkan persaingan untuk mendapatkan pesanan. Pemerintah Indonesia menyadari hal ini dan sedang berupaya untuk membahas kesejahteraan pengemudi, termasuk kemungkinan aturan baru mengenai tunjangan seperti asuransi kesehatan.
Secara internal, GoTo baru-baru ini mencatatkan keuntungan pra-pajak pertamanya pada kuartal ketiga tahun 2025. Di tengah rumor merger ini, beberapa pemegang saham GoTo dilaporkan mendesak penggantian CEO Patrick Walujo di tengah penurunan harga saham, sebuah langkah yang diyakini dapat mempercepat negosiasi akuisisi. Namun, Patrick Walujo sendiri dikabarkan keberatan dengan rencana akuisisi ini.
Meskipun pembicaraan telah berlangsung selama bertahun-tahun, intensitas diskusi saat ini menandai titik krusial. Keputusan akhir atas merger Grab dan GoTo akan memiliki implikasi jangka panjang yang mendalam bagi lanskap ekonomi digital Indonesia dan Asia Tenggara, menyoroti pentingnya pengawasan regulasi yang cermat untuk menyeimbangkan pertumbuhan bisnis dengan perlindungan konsumen dan keberlanjutan ekosistem.