
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) kembali mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), untuk segera menetapkan Harga Patokan Mineral (HPM) komoditas timah. Desakan ini merupakan langkah krusial untuk membenahi tata kelola industri pertimahan nasional yang dinilai masih kacau dan belum optimal.
Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya, menegaskan pentingnya HPM timah sebagai instrumen kunci guna menciptakan tata kelola yang transparan, berkeadilan, dan berkelanjutan. Pihaknya memberikan tenggat waktu kepada Kementerian ESDM hingga 1 Januari 2026, agar HPM timah sudah baku dan dapat diberlakukan. Formula perhitungan HPM ini diminta untuk segera disusun secara komprehensif dalam waktu dua bulan ke depan.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar pada Selasa, 11 November 2025, Komisi XII DPR RI bersama Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian ESDM, Direktur Utama PT Timah Tbk, serta Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), menyoroti berbagai persoalan di sektor timah. Bambang Patijaya menyatakan bahwa kondisi Indonesia yang selama ini belum memiliki HPM menyebabkan harga di lapangan tidak seragam, menghambat transparansi, dan menempatkan penambang rakyat pada posisi yang rentan.
Direktur Utama PT Timah Tbk, Restu Widiyantoro, turut mengakui bahwa ketidakjelasan HPM membuat harga timah di lapangan sangat bervariasi, sehingga tata kelola menjadi sulit diarahkan dan harga masih ditentukan oleh masing-masing pihak yang berkepentingan. Senada, Ketua AETI, Harwendro, menekankan urgensi HPM sebagai dasar transaksi timah, baik bagi perusahaan maupun masyarakat penambang.
Kementerian ESDM sendiri tengah menyiapkan strategi untuk menekan maraknya perdagangan timah ilegal di pasar, salah satunya dengan menetapkan HPM untuk bijih timah. Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Dirjen Gakkum) Kementerian ESDM, Rilke Jeffri Huwae, menjelaskan bahwa langkah ini bertujuan untuk menekan disparitas harga antara timah resmi yang dijual ke PT Timah Tbk dengan timah selundupan yang bisa dijual lebih mahal karena tidak membayar royalti, pajak, dan kewajiban lainnya. Pemerintah berkomitmen untuk merumuskan formula harga yang adil bagi negara dan masyarakat.
Selain isu harga patokan, DPR juga menaruh perhatian pada perlunya percepatan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) melalui skema koperasi. Pendekatan koperasi diharapkan dapat membuat aktivitas penambangan rakyat lebih terorganisasi, mudah diawasi, dan ramah lingkungan, serta meningkatkan kepastian legalitas dan menjaga keberlanjutan. Pembenahan tata kelola timah secara menyeluruh diharapkan tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengoptimalkan penerimaan negara dari PNBP, tetapi juga memastikan aturan dapat dijalankan dengan lebih tertib dan keberlanjutan lingkungan tetap terjaga. Indonesia sebagai salah satu produsen timah terbesar dunia, memiliki potensi untuk meningkatkan pengaruhnya dalam penetapan harga timah internasional melalui HPM yang transparan.