
Aliansi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) se-Jakarta secara tegas menolak Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DKI Jakarta yang sedang dalam pembahasan. Penolakan ini dilatarbelakangi kekhawatiran serius akan potensi penurunan omzet yang signifikan dan ancaman terhadap keberlangsungan usaha mereka.
Para pelaku UMKM, termasuk pedagang kaki lima, pedagang pasar, dan khususnya pemilik warteg, menyatakan bahwa pasal-pasal dalam Raperda KTR akan "membunuh ekonomi kerakyatan". Ketua Korda Jakarta Koalisi Warteg Nusantara (Kowantara), Izzudin Zindan, menegaskan bahwa larangan total merokok di area warteg dapat membuat pelanggan enggan datang, yang secara langsung akan mengurangi pendapatan pedagang warteg. Zindan memprediksi bahwa efek ini akan merambat dan menurunkan penghasilan UMKM lain, seperti warung kelontong dan pedagang kaki lima.
Dewan Pembina Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Ngadiran, juga menyoroti pasal larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta perluasan KTR di pasar rakyat. Menurutnya, aturan ini sama saja dengan menghilangkan mata pencarian pedagang pasar, yang jumlahnya mencapai ratusan ribu orang yang terdampak langsung. Selain itu, Sekretaris Jenderal Komunitas Warung Niaga Nusantara (Kowartami), Salasatun Syamsiyah, mengungkapkan kekhawatiran akan potensi pungutan liar (pungli) akibat ancaman denda besar dalam Raperda KTR, yang bisa dimanfaatkan oknum untuk menekan pedagang di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Pedagang juga mengeluhkan bahwa warung makan mikro, dengan rata-rata luas 24 meter persegi, tidak memungkinkan untuk menyediakan ruang merokok terpisah sesuai ketentuan Raperda.
Menanggapi aspirasi ini, Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta, Abdul Aziz, menyatakan pihaknya berkomitmen untuk mengakomodasi kekhawatiran UMKM. Aziz berjanji akan memperjuangkan masukan tersebut dalam rapat internal dewan dan membuka ruang dialog lebih luas sebelum pengesahan. Ia juga mengungkapkan bahwa DPRD DKI telah memutuskan untuk tidak memasukkan larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah ke dalam Raperda KTR, membiarkannya menjadi aturan tingkat nasional di bawah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Keputusan ini diambil karena penerapan aturan tersebut dinilai tidak kondusif dan berpotensi menimbulkan kegaduhan di Jakarta yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi.
Di sisi lain, Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengingatkan pentingnya menyeimbangkan kepentingan kesehatan dengan pertumbuhan ekonomi, khususnya bagi UMKM, dalam pembahasan Raperda KTR. Sementara itu, Kepala Center of Human and Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta, Roosita Meilani Dewi, berpendapat bahwa kebijakan KTR tidak akan mengganggu ekonomi pelaku usaha kecil, merujuk pada data penerimaan pajak reklame yang stabil bahkan meningkat di Jakarta meskipun ada larangan iklan rokok sebelumnya.
Aliansi UMKM Jakarta, yang terdiri dari berbagai komunitas seperti Kowantara, Koperasi Warung Tegal (Kowarteg), Komunitas Warung Niaga Nusantara (Kowartami), Koperasi Warung Merah Putih, serta Pedagang Warteg dan Kaki Lima (Pandawakarta), mendesak Pemprov DKI untuk menunda pembahasan Raperda KTR dan melakukan kajian ulang yang melibatkan pelaku usaha kecil, agar kebijakan yang dihasilkan tidak memberatkan dan tetap berpihak pada keberlanjutan ekonomi masyarakat kecil.