
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus memperkuat barisan strateginya untuk membentengi perusahaan jasa keuangan dari risiko kesehatan yang berpotensi mengancam stabilitas sistem keuangan nasional. Sebagai lembaga independen, OJK memegang peranan vital dalam mengatur, mengawasi, dan menjaga stabilitas sektor keuangan, sekaligus melindungi kepentingan konsumen dan investor.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar secara konsisten menegaskan bahwa OJK mewaspadai berbagai faktor risiko dan telah menjalankan strategi mitigasi komprehensif. Strategi ini mencakup kebijakan pengawasan intensif dan berkelanjutan. OJK aktif dalam mendeteksi dan mencegah potensi risiko, baik yang bersifat sistemik maupun non-sistemik, melalui pemantauan ketat indikator kinerja di tingkat individu lembaga jasa keuangan maupun secara agregat.
Salah satu jurus utama OJK adalah pelaksanaan uji ketahanan atau stress test secara berkala. Uji ini dilakukan baik oleh OJK maupun oleh masing-masing lembaga jasa keuangan untuk mengukur ketahanan permodalan dan likuiditas dalam berbagai skenario ekonomi dan faktor kerentanan yang relevan. Pendekatan ini memungkinkan OJK mengukur daya tahan industri terhadap kondisi ekstrem dan menentukan langkah mitigasi yang diperlukan.
Penguatan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance / GCG) dan manajemen risiko menjadi pilar penting lainnya. OJK mendorong penguatan integritas dan kompetensi profesi manajemen risiko di industri jasa keuangan, mengingat perkembangan industri yang cepat dan risiko yang semakin kompleks serta saling terkoneksi. Selain itu, penyempurnaan ketentuan dan penerbitan berbagai roadmap serta transformasi digital juga menjadi fokus OJK.
Dalam rangka menjaga kesehatan, OJK berupaya memberikan ruang likuiditas dan memperkuat permodalan bagi industri perbankan. Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara menyoroti bahwa stabilitas sistem jasa keuangan Indonesia terus terjaga dengan permodalan tinggi dan likuiditas memadai. Rasio kecukupan modal (CAR) perbankan nasional misalnya, per Oktober 2023 tercatat sebesar 27,48 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara lain. Likuiditas industri perbankan pada Agustus 2024 juga dinilai memadai, dengan rasio Alat Likuid terhadap Non-Core Deposit (AL/NCD) sebesar 112,92 persen dan Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 25,37 persen, yang keduanya di atas threshold aman. Kebijakan OJK juga berhasil menjaga rasio kredit macet (Non-Performing Loan/NPL) perbankan nasional di bawah 3 persen dan NPL perusahaan pembiayaan di bawah 4 persen.
OJK juga mengimplementasikan strategi anti-fraud untuk meminimalkan terjadinya kecurangan di industri bank umum, perasuransian, dan perusahaan pembiayaan, melalui penguatan sistem pengendalian internal. Langkah penegakan hukum juga akan terus diperkuat demi menjaga kepercayaan masyarakat.
Khusus di sektor asuransi, OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tengah menyusun desain awal skema penjaminan polis asuransi yang disesuaikan dengan karakteristik industri. Program Penjaminan Polis (PPP) ini ditargetkan mulai beroperasi pada tahun 2028, dengan perusahaan asuransi peserta harus memenuhi tingkat kesehatan tertentu, salah satunya indikator risk based capital (RBC). OJK juga semakin mengintensifkan langkah-langkah preemptive measures dan deteksi dini untuk mengidentifikasi penyebab utama permasalahan perasuransian guna memungkinkan tindakan korektif segera.
Semua upaya ini dilakukan OJK dalam koordinasi erat dengan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) lainnya, yaitu Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan LPS, untuk memastikan stabilitas keuangan nasional tetap terjaga. OJK menilai stabilitas sektor jasa keuangan di dalam negeri stabil dan optimis mampu menyerap risiko ketidakpastian serta guncangan global.