
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dengan tegas menolak permintaan para pedagang pakaian bekas impor atau 'thrifting' untuk melegalkan usaha mereka, meskipun ada tawaran untuk membayar pajak. Penolakan ini disampaikan Purbaya pada Kamis, 20 November 2025, sebagai respons atas audiensi pedagang thrifting dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehari sebelumnya.
Dalam pernyataannya, Purbaya menegaskan bahwa pemerintah tidak akan membuka ruang bagi barang-barang ilegal untuk beredar di pasar domestik. "Saya tidak peduli sama pedagangnya. Pokoknya barang yang masuk ilegal, saya hentikan. Saya tidak mungkin buka pasar untuk barang-barang ilegal," ujarnya, menganalogikan praktik ini dengan kasus Al Capone di Amerika Serikat, di mana pelanggaran hukum adalah intinya, terlepas dari jenis barang yang diperdagangkan. Ia juga menolak usulan pedagang yang siap membayar pajak hingga 1.000 persen jika diizinkan beroperasi, dengan alasan bahwa tindakan ilegal tidak bisa dilegalkan hanya dengan membayar pajak.
Kebijakan pelarangan impor pakaian bekas sendiri telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2021 yang kemudian direvisi menjadi Permendag Nomor 40 Tahun 2022 dan Permendag Nomor 17 Tahun 2025. Purbaya menjelaskan bahwa sikap tegas ini bertujuan untuk melindungi pasar domestik dari gempuran barang impor ilegal. Menurutnya, pasar Indonesia memiliki kekuatan besar, dengan 90 persen berasal dari permintaan domestik. Jika pasar ini dikuasai oleh barang asing, tidak akan ada keuntungan bagi pengusaha domestik. Ia menyarankan para pedagang untuk bergeser ke produk-produk domestik, karena mekanisme pasar akan menentukan kualitas barang.
Di sisi lain, perwakilan pedagang thrifting dari Pasar Senen, Rifai Silalahi, telah menyampaikan keluhan kepada Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR pada Rabu, 19 November 2025. Rifai mengklaim bahwa sekitar 7,5 juta orang bergantung pada usaha thrifting dan meminta pemerintah untuk mempertimbangkan legalisasi atau setidaknya pemberian kuota impor. Mereka merasa kebijakan pemberantasan dari hulu akan mematikan mata pencarian jutaan masyarakat.
Pemerintah sendiri memiliki alasan kuat di balik pelarangan ini, termasuk dampak negatif terhadap perekonomian, lingkungan, dan kesehatan. Penjualan barang impor ilegal ini menghindari pajak dan bea masuk yang seharusnya menjadi pendapatan negara, menghambat pembangunan infrastruktur dan program sosial. Selain itu, industri tekstil dan garmen lokal, yang merupakan sektor padat karya dengan jutaan pekerja, sangat terdampak. Data menunjukkan bahwa pakaian bekas impor ilegal telah menggerus konsumsi produk lokal hingga 432 ribu ton pada tahun 2022, setara dengan 22,73 persen pangsa pasar industri tekstil lokal, dan menyebabkan penutupan lebih dari 1.200 pabrik kecil sejak 2022. Barang-barang ini juga berpotensi membawa bahan kimia berbahaya dan masalah kesehatan, serta menambah beban limbah tekstil di Indonesia.
Menteri Purbaya berjanji akan konsisten memberantas importir pakaian bekas ilegal, tidak hanya dengan pemusnahan barang dan pemenjaraan pelaku, tetapi juga dengan menerapkan hukuman tambahan berupa denda dan daftar hitam (blacklist) bagi importir. Ia bahkan memperingatkan pihak-pihak yang secara terbuka mendukung impor ilegal melalui media sosial atau televisi akan didatangi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Meski demikian, beberapa anggota DPR menyuarakan agar pemerintah menyiapkan solusi konkret bagi UMKM sebelum memberlakukan larangan total. Presiden Prabowo Subianto juga telah menginstruksikan agar kebijakan ini disertai langkah transisi, seperti insentif pajak 0% bagi usaha yang memanfaatkan bahan daur ulang dan peluncuran platform "Lokal Vintage" untuk produk bekas lokal dan fesyen daur ulang.