
Ketika badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melanda, salah satu kekhawatiran terbesar bagi banyak individu adalah bagaimana melanjutkan cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang masih berjalan. Situasi ini dapat menimbulkan kepanikan, namun ada berbagai langkah strategis yang dapat diambil untuk mengatasi masalah finansial ini dan mencegah risiko terburuk seperti penyitaan rumah.
Para ahli keuangan menyarankan agar debitur yang terkena PHK segera mengambil tindakan proaktif. Menurut Perencana Keuangan dari Alliance Advisors Group Indonesia, Andy Nugroho, dan Pengamat Perbankan serta Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo, langkah pertama adalah menghubungi pihak bank atau pengembang kredit perumahan sesegera mungkin setelah menerima kabar PHK, bukan menunggu hingga menunggak pembayaran. Kooperatif dan menyampaikan kondisi finansial secara jujur menjadi kunci. Pihak bank biasanya lebih terbuka untuk membantu jika debitur proaktif dan memberikan informasi yang akurat mengenai kondisi keuangan mereka, termasuk menyertakan bukti seperti surat keterangan PHK atau release letter.
Dalam mengelola keuangan, beberapa strategi dapat diterapkan. Pertama, manfaatkan dana pesangon dengan bijak. Pesangon yang diterima berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan dapat menjadi penyelamat sementara. Prioritaskan penggunaannya untuk kebutuhan sehari-hari yang sangat penting dan mendesak. Andy Nugroho menyarankan untuk menghitung kembali aset yang tersisa, seperti tabungan atau hasil investasi. Jika jumlahnya cukup berlimpah, sebaiknya cairkan aset tersebut untuk membayar cicilan KPR dan kebutuhan harian. Namun, jika nilainya tidak terlalu besar, prioritaskan untuk kebutuhan sehari-hari. Selain itu, pertimbangkan untuk mencari pekerjaan baru secepatnya atau penghasilan tambahan, seperti pekerjaan paruh waktu atau freelance, untuk menjaga aliran pemasukan.
Solusi utama yang ditawarkan oleh perbankan adalah restrukturisasi KPR. Restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan oleh bank terhadap debitur yang berpotensi mengalami kesulitan memenuhi kewajibannya. Berbagai bentuk restrukturisasi yang umumnya tersedia meliputi:
* Penurunan suku bunga kredit.
* Perpanjangan jangka waktu kredit, yang akan membuat cicilan bulanan menjadi lebih kecil.
* Pengurangan tunggakan bunga kredit.
* Pengurangan tunggakan pokok kredit.
* Penambahan fasilitas kredit.
* Pemberian masa tenggang (grace period) atau penundaan pembayaran.
* Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.
Direktur Keuangan Bank Tabungan Negara (BTN) Nixon LP Napitupulu pada tahun 2020 menjelaskan bahwa BTN memiliki keringanan pada kondisi khusus seperti PHK, termasuk keringanan pembayaran hingga perpanjangan jangka waktu cicilan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mendorong perbankan untuk memberikan relaksasi dan restrukturisasi kredit, termasuk KPR, bagi debitur yang terdampak, meskipun implementasinya harus selektif. Tujuan restrukturisasi ini adalah meringankan cicilan, memberikan kelonggaran pembayaran, menjaga reputasi kredit debitur agar tidak masuk daftar hitam, serta menghindari risiko rumah disita bank.
Meskipun restrukturisasi menawarkan solusi, debitur perlu memahami risikonya, salah satunya adalah status BI Checking yang mungkin dibekukan sementara, yang berarti tidak dapat mengajukan kredit di tempat lain untuk jangka waktu tertentu.
Sebagai upaya terakhir jika semua opsi tidak memungkinkan, menjual aset lain yang dimiliki seperti emas atau properti lain, atau bahkan properti KPR itu sendiri, bisa menjadi pertimbangan untuk melunasi sisa kewajiban. Yang terpenting adalah tidak berputus asa dan terus mencari jalan keluar, serta menjaga komunikasi yang baik dengan pihak bank.