
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi kenyataan pahit yang dapat menimpa siapa saja, menimbulkan ketidakpastian finansial dan emosional. Menghadapi situasi ini, penting bagi karyawan untuk memahami hak-hak mereka serta langkah-langkah strategis yang perlu diambil untuk bangkit kembali.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, karyawan yang mengalami PHK memiliki hak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Besaran uang pesangon dihitung berdasarkan masa kerja, misalnya masa kerja kurang dari satu tahun berhak atas satu bulan upah, sementara masa kerja delapan tahun atau lebih berhak atas sembilan bulan upah. Perusahaan dapat mengurangi jumlah pesangon hingga separuh apabila melakukan efisiensi karena kerugian, perusahaan tutup dan rugi terus-menerus, atau pailit. Uang penghargaan masa kerja diberikan bagi karyawan dengan masa kerja minimal tiga tahun. Sementara uang penggantian hak mencakup cuti tahunan yang belum diambil, biaya pulang ke tempat asal pekerja, dan hak-hak lain sesuai perjanjian kerja atau peraturan perusahaan. Proses PHK yang sah dimulai dengan musyawarah antara karyawan dan perusahaan untuk mencari kesepakatan.
Selain kompensasi dari perusahaan, pekerja yang terkena PHK juga berhak mendapatkan manfaat dari program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) BPJS Ketenagakerjaan. Program JKP memberikan manfaat uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. Manfaat uang tunai diberikan setiap bulan hingga enam bulan pertama, dengan besaran 45% dari upah selama tiga bulan pertama dan 25% dari upah untuk tiga bulan berikutnya, dengan batas upah yang diperhitungkan adalah Rp 5.000.000. Selain itu, pemerintah juga memberikan kemudahan akses ke program Kartu Prakerja, yang menawarkan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dan insentif finansial.
Dalam menghadapi badai PHK, pengelolaan keuangan menjadi kunci untuk menjaga stabilitas hidup. Langkah pertama adalah mengevaluasi kondisi keuangan secara menyeluruh, mengidentifikasi aset seperti tabungan dan investasi, serta uang pesangon yang diterima. Selanjutnya, susun anggaran darurat yang realistis dengan menekan pengeluaran non-esensial dan memprioritaskan kebutuhan dasar seperti makanan dan tempat tinggal. Membangun atau menambah dana darurat yang cukup untuk menutupi biaya hidup selama tiga hingga enam bulan sangat disarankan. Jika memiliki utang, restrukturisasi utang perlu segera dilakukan untuk meringankan beban. Mencari sumber pendapatan tambahan atau pekerjaan paruh waktu juga dapat membantu menutupi kebutuhan sehari-hari selama proses pencarian kerja penuh waktu.
Secara praktis, setelah PHK, penting untuk mempersiapkan diri secara matang dalam mencari pekerjaan baru. Perbarui CV dan portofolio dengan pengalaman dan keahlian terkini, termasuk yang dipelajari setelah PHK. Manfaatkan platform profesional seperti LinkedIn dan aktifkan fitur "Open to work". Jaga jaringan atau networking dan jangan ragu untuk bertanya kepada relasi tentang peluang kerja. Selain itu, "surat paklaring" atau surat keterangan pengalaman kerja adalah dokumen penting yang berfungsi sebagai bukti pernah bekerja, syarat melamar pekerjaan baru, mengurus pencairan dana BPJS Ketenagakerjaan, hingga mengajukan pinjaman bank atau beasiswa. Pastikan Anda mendapatkan surat ini dari perusahaan lama.
Dampak psikologis dari PHK tidak kalah serius. Kehilangan pekerjaan dapat memicu perasaan sedih, kecewa, marah, putus asa, hingga depresi, serta mengganggu fungsi diri dan kepercayaan diri. Psikolog menyarankan untuk mengizinkan diri merasakan emosi tersebut, namun tidak berlarut-larut dalam keterpurukan. Hindari menyalahkan diri sendiri dan fokus pada langkah ke depan. Membangun rutinitas harian dan mencari dukungan sosial dari keluarga atau lingkungan sekitar dapat membantu meningkatkan resiliensi dan menjaga kesehatan mental.