Notification

×

Iklan

Iklan

Tagar Terpopuler

Faktor Pemicu Anjloknya Harga Minyak Indonesia Terkuak

2025-11-22 | 17:50 WIB | 0 Dibaca Last Updated 2025-11-22T10:50:21Z
Ruang Iklan

Faktor Pemicu Anjloknya Harga Minyak Indonesia Terkuak

Harga minyak mentah Indonesia (ICP) mengalami penurunan signifikan pada Oktober 2025, tercatat sebesar US$63,62 per barel. Angka ini merosot US$3,19 per barel dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di level US$66,81 per barel. Penurunan ini telah memicu perhatian serius terhadap kondisi pasar energi global dan dampaknya terhadap perekonomian domestik.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Laode Sulaeman, menjelaskan bahwa anjloknya harga ICP dipengaruhi oleh sejumlah faktor utama di pasar internasional. Salah satu penyebab dominan adalah kesepakatan negara-negara OPEC+ untuk meningkatkan suplai minyak pada November 2025 sebesar 137 ribu barel per hari, di tengah kekhawatiran pasar akan kelebihan pasokan minyak global. Laporan OPEC juga mengindikasikan bahwa produksi minyak mentah DoC pada September meningkat 630 ribu barel per hari dibandingkan bulan sebelumnya, dengan rata-rata 43,05 juta barel per hari.

Selain itu, meredanya ketegangan geopolitik di Timur Tengah, khususnya dengan tercapainya gencatan senjata antara Israel dan Hamas, turut mengurangi kekhawatiran pasar terhadap kelancaran pasokan minyak dari kawasan tersebut, sehingga menekan harga minyak mentah global. Perlambatan pertumbuhan ekonomi di Tiongkok juga disebut sebagai faktor krusial yang menekan permintaan regional, yang kemudian berdampak pada harga minyak mentah. International Energy Agency (IEA) melaporkan, pengolahan minyak mentah global diperkirakan mencapai titik terendah musiman sebesar 81,6 juta barel per hari pada Oktober, hampir 4 juta barel per hari di bawah rekor level pengolahan pada Juli, yang disebabkan oleh pemeliharaan berkala kilang minyak di belahan bumi utara.

Faktor lain yang memperparah penurunan ini adalah tren penguatan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama dunia di bulan Oktober. Karena minyak mentah dibanderol dalam dolar AS, penguatan mata uang Paman Sam ini secara otomatis menekan harga komoditas global. Tak hanya itu, Arab Saudi juga telah memangkas Harga Penjualan Resmi (Official Selling Price/OSP) untuk pembeli di Asia sebesar US$1,40 per barel untuk jenis Arab Light, mencerminkan kondisi pasar yang kelebihan pasokan dan permintaan yang melemah di kawasan tersebut.

Penurunan harga minyak mentah ini membawa dampak ganda bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia 2025. Sebagai negara net importir minyak, Indonesia akan menghadapi potensi penurunan penerimaan negara dari sektor migas, terutama Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pajak Penghasilan (PPh) migas. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan, penurunan ICP sebesar US$10 per barel dapat mengurangi PNBP migas sekitar Rp20 triliun hingga Rp30 triliun. Realisasi penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) Migas per Oktober 2025 terkoreksi 13,2 persen (yoy) menjadi Rp83,3 triliun, dipengaruhi oleh penurunan harga ICP dan lifting gas bumi.

Namun, di sisi lain, anjloknya harga minyak juga membawa potensi perbaikan fiskal dari sisi belanja negara. Komponen utama yang terdampak positif adalah subsidi energi dan kompensasi kepada BUMN energi seperti Pertamina dan PLN. Beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kg akan berkurang karena harga keekonomian energi menjadi lebih rendah. Meski demikian, dampak positif ini bisa terhapus jika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah, yang akan menyebabkan biaya impor BBM dan gas tetap tinggi.

Ke depan, prospek harga minyak mentah masih diwarnai ketidakpastian. Goldman Sachs memproyeksikan harga minyak dunia akan terus menurun hingga tahun 2026, dengan Brent diperkirakan mencapai rata-rata US$56 per barel dan WTI US$52 per barel, didorong oleh surplus pasokan sekitar 2 juta barel per hari. Badan Energi Internasional (IEA) juga memperkirakan pasar minyak global akan menghadapi surplus yang lebih besar pada tahun 2025, mencapai 4 juta barel per hari, sebuah tingkat yang belum terlihat di luar masa pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Sementara itu, analisis menunjukkan bahwa OPEC+ cenderung akan fokus pada upaya merebut kembali pangsa pasar, bukan memangkas produksi pada tahun 2026. Pemerintah diminta untuk terus memantau dinamika nilai tukar rupiah dan ketegangan geopolitik global guna memitigasi risiko fiskal.