
Asosiasi pedagang pasar dan pedagang kaki lima di Jakarta mendesak pengecualian bagi pasar tradisional dari larangan penjualan rokok yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Ranperda KTR). Mereka berargumen bahwa penerapan aturan tersebut akan mematikan ratusan ribu mata pencarian pedagang kecil.
Penolakan keras ini disampaikan oleh Dewan Pembina Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Ngadiran, yang menyatakan bahwa pasal larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta perluasan kawasan tanpa rokok di pasar rakyat, sama dengan menghilangkan mata pencarian pedagang. Para pedagang telah menyampaikan protes mereka melalui aksi di Kantor DPRD DKI Jakarta, Kebon Sirih, pada Kamis, 20 November 2025.
Ngadiran mengungkapkan bahwa Pemda DKI Jakarta memiliki 153 pasar yang dikelola oleh Perumda Pasar Jaya, dengan 146 pasar masih aktif beroperasi. Sebanyak 110.480 pedagang tercatat di pasar-pasar tersebut, dan mereka akan terdampak langsung oleh larangan ini. APPSI mendesak Pemerintah Provinsi dan DPRD DKI Jakarta untuk mengecualikan pasar tradisional dari kategori "Tempat Umum" dalam penerapan KTR secara total, dengan alasan bahwa pedagang adalah aset pasar yang harus dilindungi dan diberdayakan, bukan ditekan oleh aturan yang tidak adil.
Selain larangan zonasi, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Juli 2024 juga memperketat aturan penjualan rokok. Regulasi ini melarang penjualan rokok kepada individu di bawah usia 21 tahun dan wanita hamil, serta melarang penjualan rokok secara eceran per batang, kecuali untuk cerutu dan rokok elektronik. Penjualan produk tembakau juga dilarang di area sekitar pintu masuk dan keluar, tempat yang sering dilalui, serta dalam radius 200 meter dari sekolah atau tempat bermain anak.
Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima (APKLI), Ali Mahsun, juga menyampaikan permohonannya agar Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta segera meninjau ulang dan menunda pengesahan Ranperda KTR yang dinilai berdampak pada ekonomi rakyat. Larangan penjualan rokok eceran, khususnya, disebut berpotensi berdampak signifikan pada pedagang kecil, dengan kontribusi penjualan rokok eceran mencapai 10% hingga 20% dari total pendapatan mereka. Rata-rata omzet pedagang pasar dilaporkan telah turun hingga 60%, sehingga aturan baru ini semakin memberatkan.
Beberapa pemangku kepentingan, termasuk Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), juga menyuarakan kekhawatiran tentang dampak ekonomi dan kesulitan implementasi. Ketua Umum HIPPINDO, Budihardjo Iduansjah, memperkirakan potensi kerugian ritel bisa mencapai Rp21 triliun per tahun jika PP 28/2024 dijalankan. Mereka menyarankan pemerintah untuk lebih fokus pada edukasi tentang bahaya merokok dan pemberantasan rokok ilegal, daripada membatasi penjualan rokok legal yang justru dapat mendorong peredaran rokok ilegal. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) bahkan memperkirakan bahwa penerapan kebijakan pengetatan rokok secara komprehensif dapat menghilangkan dampak ekonomi hingga Rp308 triliun dan menurunkan penerimaan perpajakan sebesar Rp160,6 triliun, dengan total kerugian keekonomian mencapai lebih dari Rp460 triliun. Wakil Ketua Bapemperda DPRD DKI Jakarta juga menyatakan pesimisme terhadap implementasi Perda larangan penjualan rokok, menyebutnya sebagai ide yang sulit diterapkan.